Rabu, 17 Februari 2010

Keluarga ummah ambang... ?????


Kita saat ini berada di tengah-tengah arus deras pergeseran nilai sosial dalam masyarakat kita. Pergeseran nilai sosial tampak pada kecenderungan makin permisifnya keluarga-keluarga di masyarakat kita. Keluarga tidak lagi dilihat sebagai ikatan spiritual yang menjadi medium ibadah kepada Sang Pencipta. Nikah-cerai hanya dilihat sekadar proses formal sebagai kontrak sosial antara dua insan yang berbeza jenis. Perkahwinan kehilangan makna sebenar dimana Allah menjadi saksi atas ijab-kabul yang terjadi.

Ini bertolak belakang dengan slogan yang menyatakan keluarga adalah sumber utama dalam membangun masa depan bangsa peradaban dunia. Dari rahim keluarga lahir berbagai gagasan perubahan dalam menata tatanan masyarakat yang lebih baik. Tidak ada satu bangsa pun yang maju dalam keadaan sosial keluarga yang kering spiritual, atau bahkan sama sekali sudah tidak lagi mengendahkan makna keagamaan dalam hidupnya. Kerana itu, Al-Qur’an memuat ajaran tentang keluarga begitu komprehensif, bermula dari urusan komunikasi antara individu dalam keluarga hingga praktik sosial antara keluarga dalam masyarakat.


Memang banyak masalah yang biasa dihadapi keluarga. Tidak sedikit keluarga yang menyerah atas “derita” yang sebenarnya dicipta sendiri. Di antaranya memilih perceraian sebagai penyelesaian. Kes-kes tentang itu ada semua di masyarakat kita. Dan, masih banyak lagi kegelisahan yang melingkari keluarga-keluarga di masyarakat kita. Namun, umumnya kegelisahan itu diakibatkan oleh menurunnya kemampuan mereka menemukan alternatif ketika menghadapi masalah yang tidak dikehendaki. Kerana itu, menjadi penting bagi kita untuk mencari kunci yang boleh mengukuhkan bangunan keluarga kita dari hempasan arus zaman yang serba menggelisahkan. Dan, kata kunci itu adalah sakinah.

Makna Sakinah

Istilah “sakinah” digunakan Al-Qur’an untuk menggambarkan ketenangan keluarga. Istilah ini memiliki akar kata yang sama dengan “sakanun” yang berarti tempat tinggal. Jadi, mudah difahami memang jika istilah itu digunakan Al-Qur’an untuk menyebut tempat berlabuhnya setiap anggota keluarga dalam suasana tenang, sehingga menjadi lahan subur untuk tumbuhnya cinta kasih (mawaddah wa rahmah) di antara sesama anggotanya.

Di Al-Qur’an ada ayat yang memuat kata “sakinah”. Pertama, surah Al-Baqarah ayat 248.

وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ آَيَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ آَلُ مُوسَى وَآَلُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ الْمَلَائِكَةُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِي


Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa oleh Malaikat.”



Tabut adalah peti tempat menyimpan Taurat yang membawa ketenangan bagi mereka. ayat di atas menyebut, di dalam peti tersebut terdapat ketenangan –yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut sakinah. Jadi, menurut ayat itu sakinah adalah tempat yang tenang, nyaman, aman, kondusif bagi penyimpanan sesuatu, termasuk tempat tinggal yang tenang bagi manusia.

Kedua, al-sakinah disebut dalam surah Al-Fath ayat 4.

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا ح

Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Di ayat itu, kata sakinah diterjemahkan sebagai ketenangan yang sengaja Allah turunkan ke dalam hati orang-orang mukmin. Ketenangan ini merupakan suasana psikologi yang melekat pada setiap individu yang mampu melakukannya. Ketenangan adalah suasana batin yang hanya boleh diciptakan sendiri. Tidak ada jaminan seseorang dapat menciptakan suasana tenang bagi orang lain.



Jadi, kata “sakinah” yang digunakan untuk menyifatkan kata “keluarga” merupakan tata nilai yang seharusnya menjadi kekuatan penggerak dalam membangun tatanan keluarga yang dapat memberikan ketenangan dunia sekaligus memberikan jaminan keselamatan akhirat. Rumah tangga seharusnya menjadi tempat yang tenang bagi setiap anggota keluarga. Keluarga menjadi tempat kembali ke mana pun anggotanya pergi. Mereka merasa nyaman di dalamnya, dan penuh percaya diri ketika berinteraksi dengan keluarga yang lainnya dalam masyarakat.

Dengan cara pandang itu, kita boleh pastikan bahawa akar kes-kes yang banyak melilit kehidupan keluarga di masyarakat kita adalah kerana rumah sudah tidak lagi nyaman untuk dijadikan tempat kembali. Suami tidak lagi menemui suasana nyaman di dalam rumah, demikian pula isteri. Bahkan, anak-anak sekarang lebih mudah menemui suasana nyaman di luar rumah. Maka, sakinah menjadi hajat kita semua. Sebab, sakinah adalah konsep keluarga yang dapat memberikan ketenangan psikologi –walaupun kadang-kala secara fizikal tampak jauh di bawah standard nyaman.


Membangun Ketenangan Keluarga

Ketenangan dalam keluarga hanya dapat dibangun secara bersama-sama. Tidak boleh bertepuk sebelah tangan. Melalui proses panjang, setiap anggota keluarga saling menemukan kekurangan dan kelebihan masing-masing. Penemuan itulah yang harus menjadi ruang untuk saling mencari keseimbangan. Maka, keluarga sekolah yang tiada batas waktu. Pada masa sama terjadi proses pembelajaran secara terus menerus untuk menemukan formula yang lebih tepat bagi kedua belah pihak, baik suami-isteri, mahu pun anak-orangtua.

Proses belajar itu akan mengungkap berbagai misteri keluarga. Lebih-lebih ketika kita akan belajar tentang baik-buruk kehidupan keluarga dan rumah tangga. Tidak banyak buku yang memberi solusi jitu atas problema keluarga. Sebab, ilmu membina keluarga lebih banyak diperoleh dari pengalaman. Maka tak heran jika keluarga sering diilustrasikan sebagai perahu yang berlayar melawan badai samudra. Kita dapat belajar dari pengalaman siapa pun. Pengalaman pribadi untuk tidak mengulangi kegagalan, atau juga pengalaman orang lain selama tidak merugikan pelaku pengalaman itu.

Masalah demi masalah yang dilalui dalam perjalanan sejak pertama kali menikah adalah pelajaran berharga. Kita dapat belajar dari pengalaman orang tentang memilih pasangan ideal, menelusuri kewajiban-kewajiban yang mengikat suami-isteri, atau tentang penyelesaian masalah yang biasa dihadapi keluarga. Semuanya sulit kita dapat dari buku. Hanya kita temukan pada buku kehidupan. Bagaimana kita dapat memahami isteri yang gemar buka rahasia, atau menghadapi suami yang berkemampuan seksual tidak biasa. Dan masih banyak lagi masalah keluarga yang seringkali sulit ditemukan jalan penyelesaiannya. Jadi, memang tepat jika rumah tangga itu diibaratkan perahu, sebab tak henti-hentinya menghadapi badai di tengah samudra luas kehidupan.

Rumah tangga juga dua sisi dari muka syiling yang sama: boleh menjadi tambang derita yang sengsara, sekaligus menjadi taman syurga yang sinat menyinar. Kedua sisi itu rapat berhimpitan satu sama lain. Sisi yang satu datang pada waktu tertentu, sedang sisi lainnya datang menyusul kemudian. Yang satu membawa petaka, yang lainnya mengajak tertawa. Tentu saja, siapa pun berharap rumah tangga yang dijalani adalah rumah tangga yang memancarkan pantulan cinta kasih dari setiap sudutnya. Rumah tangga yang benar-benar menghadirkan atmosfera syurga: keindahan, kedamaian, dan keagungan. Ini adalah rumah tangga dengan seorang nakhoda yang pandai menanggapi perubahan.

Rumah menjadi panggung yang menyenangkan untuk sebuah pentas cinta kasih yang diperankan oleh setiap penghuninya. Rumah juga menjadi pusat kembalinya setiap anggota keluarga setelah melalui pengembaraan panjang di tempat mengadu nasibnya masing-masing. Hanya ada satu tempat kembali, baik bagi anak, ibu, mahu pun bapak, iaitu rumah yang mereka rasakan sebagai syurga. Bayangkan, setiap hari jatuh cinta. Anak selalu merindukan orang tua, demikian pula sebaliknya. Betapa indahnya taman rumah tangga itu. Sebab, yang ada hanya cinta dan kebaikan. Kebaikan inilah yang sejatinya menjadi pakaian harian keluarga. Dengan pakaian ini pula rumah tangga akan laju menempuh badai sebesar apapun. Betapa indahnya kehidupan ketika ia hanya berwajah kebaikan. Betapa bahagianya keluarga ketika ia hanya berwajah kebahagiaan.

Tetapi, kehidupan rumah tangga acapkali menghadirkan hal yang sebaliknya. Bukan kebaikan yang datang berkunjung, melainkan malapetaka yang kerap merundung. Suami menjadi bahan gunjingan isteri, demikian pula sebaliknya. Anak tidak lagi merindukan orang tua, dan orang tua pun tidak lagi peduli akan masa depan anaknya. Bila sudah demikian halnya, bukan syurga lagi yang datang, melainkan neraka yang siap untuk membakar. Benar, orang tua tidak mempunyai hak membesarkan jiwa anak-anaknya, dan mereka hanya boleh membesarkan raganya. Tapi raga adalah cermin keharmonisan komunikasi yang akan berpengaruh pada masa depan jiwa dan kepribadian mereka.

Lunturnya Semangat Sakinah

Membangun sakinah dalam keluarga, memang tidak mudah. Ia merupakan bentangan proses yang sering menemui badai. Untuk menemui formulanya pun bukan hal yang mudah. Kes-kes keluarga yang terjadi di sekitar kita dapat menjadi pelajaran penting dan menjadi motif bagi kita untuk berusaha keras mewujudkan indahnya keluarga sakinah di rumah kita.

Ketika seseorang tersedu mengeluhkan sepenggal kalimat, “Suami saya akhir-akhir ini jarang pulang”, tidak susah kita cerna maksud utama kalimatnya. Sebab, kita menemui banyak kes yang hampir sama, atau bahkan persis sama, dengan kes yang menimpa wanita pengungkap penggalan kalimat tadi.

Penggalan kalimat di atas bukan satu-satunya masalah yang banyak dikeluhkan isteri. Masih banyak. Tapi kalau ditelusuri akar masalahnya sama: “tidak tahan menghadapi godaan”. Godaan itu boleh datang kepada suami, boleh juga datang kepada batin isteri. Kerana godaan itu pula, siapa pun boleh membuat seribu satu alasan. Ada yang mengatakannya sudah tidak harmonis, tidak boleh saling memahami, ingin mendapat keturunan, atau tidak pernah cinta.

Payahnya, semakin hari godaan akibat pergeseran nilai sosial semakin menggelombang dan menghentam. Sementara, ketahanan keluarga semakin rapuh kerana ketidakpastian pegangan. Maka, kita dapati kes-kes di mana seorang ibu kehilangan kepercayaan anak dan suaminya. Seorang ayah yang tidak lagi berwibawa di hadapan anak dan isterinya. Anak yang lebih erat dengan ikatan komuniti sebayanya. Ayat berebut otoriti dalam keluarga dengan isterinya, serta isteri yang tidak berhenti memperjuangkan hak persamaan di hadapan suami. Semua mempunyai argumentasi untuk membenarkan posisinya. Semua tidak merasa ada yang salah dengan semua kenyataan yang semakin memprihatinkan itu.

Tapi benarkah perubahan zaman menjadi sebab utama terjadinya pergeseran nilai dalam rumah tangga? Lalu, mengapa keluarga kita tidak lagi sanggup bertahan dengan norma-norma dan jati diri keluarga kita yang asli? Bukankah orang tua-orang tua kita telah membuktikan bahawa norma-norma yang mereka anuti telah berhasil mengantarkan mereka membentuk keluarga normal dan berbudaya, bahkan berhasil membentuk diri kita yang seperti sekarang ini? Lantas, kenapa kita harus larut dengan segala riuh-gelisah perubahan zaman yang kadang membingungkan?

Transformasi budaya memang tidak mudah, bahkan tidak mungkin, kita hindari. Arusnya deras masuk ke rumah kita lewat media informasi dan komunikasi. Kini, setiap sajian budaya yang kita hadam dari waktu ke waktu, diam-diam telah menjadi standard nilai masyarakat kita. Ukuran baik-buruk tidak lagi bersumber pada moral universal yang berlandaskan agama, tapi lebih banyak ditentukan oleh nilai-nilai artifisial yang dibentuk untuk tujuan pragmatis dan bahkan hedonis. Tanpa kita sadari, nilai-nilai itu kini telah membentuk perilaku sosial dan menjadi anutan keluarga dan masyarakat kita. Banyak masalah keluarga yang muncul di sekitar kita umumnya menggambarkan kegelisahan yang diwarnai oleh semakin lunturnya nilai-nilai agama dan budaya masyarakat. Masyarakat kini seolah telah berubah menjadi “masyarakat baru” dengan wujud yang semakin kabur.

Gaya hidup remaja yang berhujung pada fenomena MBA (married by accident) telah jadi model terbaru yang digemari banyak pasangan. Pernikahan yang dianjurkan Nabi menjadi jalan terakhir setelah menemui jalan buntu. Sementara perceraian yang dibenci Nabi justru menjadi pilihan yang banyak ditempuh untuk menemukan solusi singkat. Kenyataan ini merupakan bahagian kecil dari proses modenisasi kehidupan yang berlangsung tanpa kendali etika. Akibatnya, struktur fungsi yang sejatinya dimainkan masing-masing anggota keluarga tampak semakin kabur.

Seorang anak kehilangan pegangan. Ibu-bapanya terlalu sibuk untuk sekadar menyapa anak-anaknya. Anak pun dewasa dengan harus mencari jalan hidupnya sendiri. Mencari sendiri ke mana harus memperoleh pengetahuan, dan harus mendiskusi sendiri siapa calon pendampingnya. Semuanya berjalan sendiri-sendiri. Padahal, jika sendi-sendi keluarga itu telah kehilangan daya perekatnya dan masing-masing telah menemukan jalan hidupnya yang berbeza-beza, maka bangunan “baiti jannati”, rumahku adalah syurgaku, akan semakin menjauh dari kenyataan. Itu menjadi mimpi yang semakin sulit terwujud. Bahkan, menjadi mimpi yang tidak pernah terfikirkan. Yang ada hanyalah “neraka” yang tidak henti-hentinya membakar suasana rumah tangga.

Satu lagi yang sering menjadi akar bencana keluarga, iaitu anak. Dunia anak adalah dunia yang lebih banyak diwarnai oleh proses pencarian untuk menemukan apa-apa yang menurut perasaan dan fikirannya ideal. Dunia ideal sendiri, baginya, adalah dunia yang ada di depan matanya, yang kerananya ia akan melakukan pengejaran atas dasar kehendak peribadi. Akan tetapi, di sisi lain, perkembangan psikologi yang sedang dilaluinya juga masih belum mampu memberikan alternatif secara matang terutama berkaitan dengan standard nilai yang dikehendakinya. Kerana itu, selama proses yang dilaluinya, hampir selalu ditemukan berbagai perubahan sesuai dengan tuntutan lingkungan tempat di mana anak itu berkembang. Di sinilah proses bimbingan itu diperlukan, terutama dalam ikut menemukan apa yang sesungguhnya mereka perlukan.

Guru di sekolah ataupun orang tua di rumah, secara tidak sader, seringkali menjadi sosok yang begitu dominan dalam menentukan masa depan anak. Padahal, guru ataupun orang tua bukanlah segala-galanya bagi perkembangan dan masa depan anak. Proses pendidikan, dengan demikian, pada dasarnya merupakan proses bimbingan yang memerdekakan sekaligus mencerahkan. Proses seperti itu berlangsung alamiah dalam kehidupan yang bebas dari ikatan-ikatan yang justru tidak mendidik. Dalam kerangka seperti inilah, maka keluarga boleh berperanan sebagai lembaga yang membimbing dan mencerahkan, atau juga sebaliknya. Jika tidak tepat memainkan peranan yang sesungguhnya, boleh saja berfungsi sebagai penjara yang hanya mampu menanamkan disiplin semu. Anak-anak boleh menjadi manusia yang paling soleh di rumah, tetapi menjadi binatang liar ketika keluar dari dinding-dinding rumah dan terbebas dari pengawasan orang tua.

Dalam situasi seperti inilah, anak bermula mencari kesempatan untuk memenuhi kebuntuan komunikasi yang dirasakannya semakin kering dan terbatas. Sebab berkomunikasi untuk saling menyambungkan rasa antara anggota keluarga merupakan keperluan dasar yang menuntut untuk selalu dipenuhi. Kesannya, ketidaktersediaan aspek ini dalam keluarga dapat berakibat pada munculnya ketidakseimbangan psikologi yang pada gilirannya dapat saja mengakibatkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan sosial seperti apa yang terjadi di masyarakat sekitar kita. Inilah di antara kerosakan akibat lunturnya atmosfera sakinah dalam keluarga...

Tiada ulasan:

Catat Ulasan